URBim | for just and inclusive cities

Peristiwanya sederhana. Seorang lurah, perempuan dan beragama Kristen, yang baru diangkat, diprotes oleh sekelompok orang yang menganggap bahwa dia tidak tepat memimpin sebuah kelurahan yang mayoritasnya beragama Islam. Peristiwa ini terjadi di Kelurahan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, di ibukota Negara Republik Indonesia.

Susan Jasmine Zulkifli, nama lurah Lenteng Agung itu, adalah seorang lurah yang lulus tes sistim seleksi baru yang dibuat oleh pemerintah Jakarta. Susan telah menjadi pegawai negeri sejak awal tahun 1990an. Dia mulai karirnya sebagai staf administrasi junior di kantor BKKBN Makasar, Sulawesi Selatan. Tahun 1997 setelah menamatkan S1 di bidang studi Administrasi Negara di Universitas Indonesia dia pindah ke kantor BKKBN Jakarta. Pada pertengahan 2012 dia diangkat menjadi kepala seksi sarana dan prasaran di kantor kelurahan Senen, Jakarta Pusat.

Pada bulan April 2013 Jokowi memperkenalkan sistim seleksi baru (sistim lelang) untuk memilih pegawai kantor pemerintah Jakarta. Dengan sistim yang baru ini lurah dinyatakan sebagai posisi yang terbuka bagi semua pegawai pemerintah Jakarta asalkan secara administratif mereka memenuhi syarat. Sistim rekruitmen baru ini adalah bagian dari reformasi birokrasi yang digagas oleh Jokowi untuk meningkatkan kapasitas pelayanan publik pemerintah kota Jakarta. Setelah para calon dinyatakan lulus dari persyaratan administratif mereka diwajibkan mengikuti berbagai tes yang bertujuan untuk mengevaluasi kemampuan mereka sebagai seorang lurah. Susan adalah salah seorang calon yang dinyatakan lulus dari seluruh tes sebagai calon kepala desa dan pada bulan Juli 2013 diangkat sebagai lurah di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Lenteng Agung dan sekitarnya merupakan sebuah wilayah perkotaan yang berkembang secara cepat. Pada awal tahun 1970an wilayah ini merupakan kawasan peri-urban Jakarta dimana Orang Betawi masih merupakan komunitas yang dominan dan umumnya bekerja dalam kegiatan pertanian buah-buahan. Saat ini Lenteng Agung dan banyak wilayah yang pada tahun 1970an merupakan kawasan peri-urban telah menjadi wilayah perkotaan yang padat dan kegiatan pertanian buah-buahan boleh dikatakan telah menghilang. Orang Betawi yang umumnya beragama Islam telah menjadi kelompok minoritas dari sebuah masyarakat urban yang sangat beragam penduduknya.

Meskipun peristiwanya sederhana dan terjadi di tingkat birokrasi paling bawah (kelurahan) namun memiliki arti yang sangat besar secara nasional. Peristiwa ini mencerminkan sebuah masalah yang bersifat fundamental dalam Negara demokratis modern dimana setiap warganegara harus diperlakukan secara setara tanpa melihat latarbelakang jender, sukubangsa dan agama. Birokrasi pemerintahan yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan pemerintah seharusnya menjadi teladan utama dari sifat imparsial dari Negara modern demokratis. Dalam kenyataan, apa yang secara jelas merupakan karakteristik ideal sebuah Negara modern demokratis masih merupakan utopia atau cita-cita yang harus direalisasikan.

Indonesia adalah sebuah Negara baru yang dibangun berdasarkan pengalaman sejarah yang sama dari warganya dan konsesnsus untuk mencapai sebuah masyarakat yang adil dan makmur. Kelahiran Indonesia oleh para bapak dan ibu pendirinya didorong oleh sebuah nasionalisme yang bersifat civic dan bukan didasarkan oleh kesukubangsaan atau agama. Pada tahun 1928 dibawah pengawasan pemerintah kolonial Belanda para pemimpin pemuda telah bersumpah: “Satu Bangsa, Satu Bahasa dan Satu Tanah Air – Indonesia”. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 motto Negara Bhineka Tunggal Ika dipatrikan sebagai pengingat bagi seluruh warga tentang realitas keragaman sosial dan budaya namun ditengah perbedaan itu mereka yakin tetap satu.

Sementara peristiwa ini masih berlangsung kita menyaksikan bagaimana isu ini telah berkembang menjadi sebuah kontroversi nasional dimana polemic tentang inklusivitas vs eksklusivitas dari kebangsaan secara publik diperdebatkan. Bagi Jokowi dan Ahok peristiwa ini merupakan sebuah tes bagi kepemimpinan mereka yang dianggap sangat memberikan inspirasi untuk mempertahankan Jakarta sebagai sebuah kota yang inklusif bagi seluruh warganegara Indonesia, tidak perduli apakah mereka berasal dari kelompok mayoritas atau minoritas, berdasarkan identitas yang bersifat religio-cultural.

Foto diambil dari Tempo.co, 28 August 2013.

The event looks very simple. A new appointed sub-district head, a women and a Christian, is rejected by a group of people as she is perceived to be not appropriate to lead a sub-district with a Muslim majority. This event occurred in the Lenteng Agung sub-district, South Jakarta, in the capital city of Indonesia.

Susan Jasmine Zulkifli is the name of this head of the Lenteng Agung sub-district, and is one of the sub-district heads that passed the test under the newly-created recruitment system conducted by the Jakarta city government. Susan has been a government employee since early 1990s. She began her carrier as a junior administrative staff at the local family planning office in Makassar, South Sulawesi. In 1997, after completing her bachelors degree on state administration study program at the University of Indonesia, she moved to the local family planning office in Jakarta. In mid 2012 she moved to the Jakarta local government office and was appointed as the section’s head of infrastructure development at the Senen Sub-District Office in Central Jakarta.

In April 2013 Jokowi introduced a new recruitment system for the Jakarta’s city government employees. Under the new recruitment system, the position of sub-district head is open to all employees of Jakarta city government, as long they pass the administrative requirements. The new recruitment system is part of Jokowi’s larger bureaucratic reform to improve public service capacity of the Jakarta city government. After the candidates pass the administrative test, they must participate in various tests to evaluate their ability as the sub-district head. Susan is one of the candidates that pass all of the requirements and in July 2013, she was appointed as the sub-district head in Lenteng Agung, South Jakarta.

Lenteng Agung and its surrounding areas are rapidly growing urban areas. In the early 1970s, it was a peri-urban area of Jakarta where the local Betawi people were the dominant community and they worked mostly in fruit growing agricultural activities. Now Lenteng Agung, as many other peri-urban areas near Jakarta, has become a crowded urban areas where fruit growing and selling activities disappeared. The local Betawi that are predominantly Muslim have become the minority among a diverse urban community.

Although the event is simple and occurred at the lowest level of state bureaucracy (a sub-district), its meaning is indispensable nationally. This event reflects a fundamental notion of modern democratic state that citizens should be treated equally regardless their gender, ethnicity, or religion. The government bureaucracy should be the first example of the impartial character of the modern democratic state. In reality however, what is obviously an ideal characteristic of a modern democratic state remains a utopia.

Indonesia is a newly-created nation that is built based on the shared history and the consensus to achieve a justice and prosperous society. A civic, and not an ethnic or religious nationalism drove Indonesian founding fathers and mothers to create Indonesia. In 1928, under the surveillance of colonial government, Indonesian youth leaders pronounced an oath: one nation, one language, and one country. After independence in 1945, a national motto Unity in Diversity was inscribed as a reminder for all Indonesian about their diverse social and cultural realities yet believe that amidst all differences they are one.

As the event is unfolding, we have seen how this issue has become a national controversy as polemics concerning inclusivity vs exclusivity of nationhood are publicly debated. For Jokowi and Ahok, the event is a real test for the new inspiring leaders in defending their promise that Jakarta is an inclusive city for all Indonesian citizens, no matter whether they come from majority or minority religio-cultural identity groups.

Photo from Tempo.co, 28 August 2013.