URBim | for just and inclusive cities

Rendy A. Diningrat

Jakarta merupakan area perkotaaan terpadat di Indonesia dengan pertumbuhan penduduk yang cepat dan juga signifikan. Kota ini menjadi tempat temu jutaan manusia yang berasal dari penjuru tanah air untuk melakukan perpindahan. Mereka berbondong-bondong menjalani mobilitas spasial ke Jakarta semata-mata untuk memperoleh kemudahan. Di kota ini, hampir semua jenis kebutuhan bisa didapatkan, mulai dari pekerjaan, pendidikan, bisnis, layanan kesehatan, hiburan, dan lain sebagainya. Jakarta menjadi pusat segala aktivitas kehidupan disamping peran utamanya sebagai pusat pemerintahan Republik Indonesia.

Secara demografi, saat ini Jakarta telah dihuni hampir 9,6 juta penduduk pada malam hari dan mencapai 16 juta penduduk pada siang hari (BPS DKI Jakarta, 2011). Penambahan sekitar 7 juta penduduk di siang hari merupakan aktivitas para penglaju terutama yang berasal dari kota-kota satelit Jakarta, yakni Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi (Bodetabek). Terkait eratnya aktivitas penduduk dan sistem kota-kota yang dimilki Jakarta dengan wilayah sekitarnya, membuat kota ini dinobatkan sebagai area metropolitan terpadat ke enam dunia setelah Tokyo, Seoul, Mexico City, New York, dan Mumbai (Demographia, 2011).

Bukan Tanpa Masalah

Sebagai pusat beragam kegiatan, Jakarta memang begitu mengesankan. Tidak hanya daya tarik bagi penduduk dari luar daerah yang hendak berhuni, berbagai investasi padat modal pun berbondong-bondong mengajukan proposalnya ke wilayah tersebut. Bisnis property, pusat perbelanjaan, apartemen, perkantoran, perbankan, hingga jalan layang pun merupakan sebagian kecil kegiatan investasi yang saling lomba menggelontorkan dananya di kota ini. Tak heran, Jakarta berkembang pesat menjadi wilayah perkotaan modern dilengkapi dengan infrastruktur kehidupan yang serba lengkap.

Modernitas yang dibangun Jakarta, kenyataan bukanlah tanpa masalah. Ketidaktertataan investasi dan bobroknya pengendalian ruang, membuat kota ini selalu dihantui berbagai masalah pembangunan. Jakarta semakin semrawut. Banjir dan kemacetan seakan menjadi bulan-bulanan ibu kota yang sejak dulu tidak pernah terselesaikan. Belum lagi bila hal ini juga dihadapkan dengan masalah kemiskinan.

Tahun 2011 lalu, setidaknya terdapat 3 juta warga Jakarta tergolong sebagai penduduk pra sejahtera. Di tahun yang sama, 416 RW kumuh pun tercatat ikut mewarnai dinamika tata ruang ibu kota. Di Jakarta, sangat memungkinkan terpotretnya gambar-gambar kesenjangan dimana jajaran superblock bisa berdampingan mesra dengan luberan permukiman kumuh. Mereka yang tinggal nyaman di apartemen, menjadi sangat timpang apabila dibandingkan dengan kondisi warga miskin di sekitarnya. Anak jalanan, gelandangan, pengemis, dan premanisme, merupakan beberapa produk yang dihasilkan dari kejamnya kesenjangan Jakarta. Parahnya, kondisi ini seringkali dianggap sebagai sebuah kewajaran.

Jokowi’s Attack

Meski berbagai masalah terus mewarnai Jakarta, terpilihnya Joko Widodo sebagai Gubernur DKI Jakarta pada Oktober 2012 lalu, tampaknya menjadi angin segar bagi jutaan penduduk ibu kota. Jokowi begitu ia biasa dipanggil, memang dikenal sebagai pemimpin yang merakyat. Pendekatannya yang strategis dan komunikatif memberikan suatu keyakinan kepada masyarakat bahwa permasalahan ibu kota bisa segera diselesaikan.

Gagasan-gagasan Jokowi untuk menyelesaikan permasalahan Jakarta, dikenal dengan istilah Gebrakan Jokowi. Untuk mengatasi kemacetan setidaknya Jokowi telah menyiapkan agenda pembangunan moda transportasi MRT dan Monorail diikuti dengan sistem angkut yang terintegrasi. Banjir ibu kota mulai dilirik dengan gagasan pengembalian fungsi sempadan sungai diikuti dengan konsep hulu dan hilir. Sementra untuk masalah kemiskinan, Gebrakan Jokowi telah menyiapkan beberapa strategi seperti pembagian kartu pintar bagi warga miskin untuk mendapatkan pendidikan dan layanan kesehatan secara gratis, pembangunan kampung susun, serta permudahan akses modal bagi kegiatan UMKM.

Hingga tahun 2017 mendatang, Jokowi akan terus memberikan gebrakan-gebrakan baru lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan warga Jakarta. Setidaknya sampai dengan saat ini warga Jakarta, terutama mereka yang hidup dalam keterbatasan, menaruh harapan besar pada pemimpin yang dinilai humanis tersebut. Akankah Gebrakan Jokowi mampu memberikan perubahan bagi ketertataan ibu kota sesuai dengan visi Jakarta Baru? Kita tunggu saja!