URBim | for just and inclusive cities

Blusukan, adalah sebuah kata dalam bahasa Jawa, yang oleh The Jakarta Post diterjemahkan sebagai impromptu visit, menjadi sangat populer setelah dipakai oleh Jokowi, gubernur Jakarta. Jokowi menggunakan kata itu untuk menggambarkan kegiatannya melakukan inspeksi langsung, seringkali tanpa sepengetahuan siapapun kapan dan kemana dia pergi, bahkan tanpa diketahui oleh staf dan wartawan yang selalu mengikuti geraknya. Kita kemudian mengetahui bahwa tujuan blusukan sesungguhnya adalah untuk melakukan komunikasi langsung dengan warga masyarakat, disamping adanya berbagai tujuan resmi lainnya, seperti untuk mencek implementasi sebuah proyek, mencek pelayanan publik yang diberikan olaeh kecamatan dan kelurahan, atau sekedar untuk melihat situasi di lapangan dan untuk mendengar langsung apa yang dikeluhkan oleh warga miskin di tingkat akar rumput. Baca lebih lanjut.

Blusukan is a Javanese word, translated by The Jakarta Post as “impromptu visit”, popularized after being used by Jokowi, the governor of Jakarta. Jokowi used the term to denote his movement to inspect directly, often without anyone knowing when and where he goes, not even his own staff nor the journalist who usually always follow his movements. We later learned that the aim of blusukan is primarily to make direct contact with the people, as well as many official reasons such as to check the implementation of a development project, to check on public services delivered by Jokowi’s subordinates at the district and village level governments, or simply to observe the situation on the field and to listen to the urban poor’s complaints at the grassroots level. Read more.

Submitted by Riwanto Tirtosudarmo — Tue, 03/25/2014 – 16:50

Di awal tahun Kuda, berdasarkan penanggalan Cina, Indonesia mendapat hantaman banjir yang dahsyat. Kombinasi berbagai faktor, terutama hujan yang tiada henti, perubahan iklim dan kerusakan lingkungan akibat ulah manusia; telah melumpuhkan tidak hanya Jakarta, ibukota negara, namun banyak tempat laindi Jawa dan pulau-pulau lainnya. Jakarta seperti biasa selalu menjadi pusat perhatian media karena banjir mencerminkan kinerja pemerintah kota dalam menangani masalah ini. Publik melihat disamping upaya habis-habisan dari Jokowi sebagai gubernur baru dalam mencegah dampak banjir namun upaya ini tampak tak berarti karena volume air yang mencapai puncaknya akibat hujan turun setiap hari di bulan Januari. Baca lebih lanjut.

In the beginning the Year of Horse according to the Chinese calendar, Indonesia was hit by severe flooding. A combination of factors, most notably unabated rains, climate change and manmade environmental destruction have paralyzed not only Jakarta, the capital city, but many places in Java and on other islands. Jakarta has always been the center of media attention as flooding reflects the performance of the city government in handling the case. The public noticed that despite all-out efforts by Jokowi as the new governor to curb the potential flooding, the effort seemed meaningless as the volume of water reached its peak as it pored throughout January. Read more.

Submitted by Riwanto Tirtosudarmo — Wed, 02/05/2014 – 14:59

Jati Baru adalah sebuah kecamatan miskin dan padat penduduk di Jakarta Pusat. Kemiskinan, eksklusi social dan tawuran anak muda telah menjadi cirri-ciri umum dari komunitas kumuh ini. Didorong oleh keinginan untuk mencari jalan keluar dari masalah sisial yang akut ini beberapa orang staf pengajar dari departemen sosiologi Universitas Indonesia menyusun strategi berdasarkan temuan penelitian yang mereka lakukan tahun 2012. Penelitian ini bertujuan untuk memahami proses-proses yang bersifat sistemik dari penyakit sosial sebagaimana yang tercermin dari tawuran antar kelompok anak muda ini terjadi. Dengan asumsi bahwa fenomena tawuran adalah refleksi frustrasi terhadap aturan-aturan yang dipaksakan oleh otoritas formal di pilihlah sebuah pendekatan penelitian yang memanfaatkan metode kuantitatif dan kualitatif. Baca lebih lanjut.

Joharb Baru is a poor and densely-populated district in Central Jakarta. Poverty, social exclusion and youth brawls have become common features in this slum community. Motivated to find a way out of this acute social problem, a group of lecturers from the sociology department at the University of Indonesia developed a strategy based their research findings conducted in 2012. The research aimed to understand the systemic processes by which such social disease as manifested in the frequent youth brawls occurred. Assuming that the phenomena of youth brawls reflect the frustration against the imposing civic order from a formal authority, a research approach that utilized both quantitative and qualitative methods was adopted. Read more.

Submitted by Riwanto Tirtosudarmo — Wed, 12/04/2013 – 12:47

Peristiwanya sederhana. Seorang lurah, perempuan dan beragama Kristen, yang baru diangkat, diprotes oleh sekelompok orang yang menganggap bahwa dia tidak tepat memimpin sebuah kelurahan yang mayoritasnya beragama Islam. Peristiwa ini terjadi di Kelurahan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, di ibukota Negara Republik Indonesia. Baca lebih lanjut.

The event looks very simple. A new appointed sub-district head, a women and a Christian, is rejected by a group of people as she is perceived to be not appropriate to lead a sub-district with a Muslim majority. This event occurred in the Lenteng Agung sub-district, South Jakarta, in the capital city of Indonesia. Read more.

Submitted by Riwanto Tirtosudarmo — Tue, 10/22/2013 – 11:22

Menyelesaikan masalah banjir rutin (dan kemacetan jalan) bisa merupakan tes akhir bagi setiap gubernur Jakarta. Sejak hari pertama di kantornya Jokowi dan Ahok telah menjadikan penanganan banjir sebagai prioritas utama. Mereka sangat menyadari dampak banjir yang dapat mematikan dan membuat Jakarta menjadi lumpuh. Diantara berbagai cara mengurangi dampak banjir adalah mengembalikan fungsi dam dam yang semula merupakan daerah penampungan air. Baca lebih lanjut.

Submitted by Riwanto Tirtosudarmo — Mon, 09/23/2013 – 14:42

Solving the problem of regular flooding (and traffic jams) could be the litmus test of any governor of Jakarta. Since the first day in office, Jokowi and Ahok have given top priority to resolving this flooding problem. They are very aware that the impact of flooding could be lethal and paralyzing for Jakarta. Among many other ways to reduce the impact of flooding, they are restoring the dams that were originally designed to be water catchment areas. Read more.

Submitted by Riwanto Tirtosudarmo — Mon, 09/23/2013 – 14:36

One of the unintended results of Suharto’s New Order economic development policy and political engineering strategy is the burgeoning phenomenon of the informal sector in Indonesia’s cities. As an academic term, “informal sector” was coined in the 1970s, following the widely debated discussions on the issues of urban bias and “why the poor stay poor” prominently argued by Michael Lipton. Read more.

Submitted by Riwanto Tirtosudarmo — Fri, 08/09/2013 – 00:00

Salah satu dampak yang tidak direncanakan dari kebijakan pembangunan ekonomi dan strategi rekayasa politik Orde Baru Suharto adalah fenomena menggelembungnya sektor informal di perkotaan. Secara akademik istilah sektor informal diperkenalkan pada tahun 1970an sebagai kelanjutan dari diskusi luas tentang isu-isu “urban bias” dan “why poor stay poor” argument utama dari Michael Lipton. Baca lebih lanjut.

Submitted by Riwanto Tirtosudarmo — Fri, 08/09/2013 – 00:00

Dibawah kepamongan Sandyawan Sumardi, seorang sosial aktivis, sebuah komunitas miskin yang tinggal di bantaran sungai Ciliwung di wilayah yang paling padat penduduk di Jakarta telah melakukan perjuangan untuk memperoleh kembali hak-haknya sebagai warganegara dan sebagai manusia. Ciliwung adalah nama sungai yang membelah kota Jakarta, selalu membawa banjir dimusim hujan karena wilayah pegunungan diatas Jakarta telah berubah dari hutan dan resapan air menjadi vila-vila indah bagi kaum elit. Di tengah-tengah kemelaratan dan lingkungan yang buruk warga miskin dan lemah ini ternyata mampu membentuk Ciliwung Merdeka sebuah platform untuk bergerak dan untuk menyampaikan aspirasi sosial dan politik mereka sebagai warga kota dan warganegara. Baca lebih lanjut.

Submitted by Riwanto Tirtosudarmo — Fri, 07/12/2013 – 15:44

Under the guardianship of Sandyawan Sumardi, a social activist, a poor community living on the riverbank of Ciliwung River in the most crowded area of Jakarta has been struggling to regain its human rights. Ciliwung is the name of the river that run through Jakarta and brings floods during the rainy season, as the mountainous areas above Jakarta turn from forest and water reservoir into beautiful villas for the rich. Amidst economic hardship and dire environmental conditions, this poor and vulnerable community is has set up “Ciliwung Merdeka,” or Free Ciliwung, a mobilizing platform to voice their social and political aspirations as members of the city and as Indonesian citizens. Read more.

Submitted by Riwanto Tirtosudarmo — Fri, 07/12/2013 – 15:37