Genap sudah bencana banjir melanda ibukota Indonesia, Jakarta, selama satu bulan di tahun 2014. Jakarta memang menjadi langganan banjir, bahkan sejak dulu Belanda menjajah Batavia. Banjir Jakarta pertama kali tercatat tahun 1621. Pemerintah Belanda pada waktu itu pun berupaya menangani banjir dengan melaksanakan berbagai mega proyek seperti pembangunan tiga bendungan besar Jakarta tahun 1918, yakni Bendungan Hilir, Bendungan Jago dan Bendungan Udik. Selain itu, pada tahun 1922 Belanda juga membangun Banjir Kanal Barat (BKB) yang membuka pintu air Manggarai-Rawa Angke.
Hingga kini, Jakarta masih dihantui oleh persoalan banjir. Catatan mengenai peristiwa ini berlanjut pada tahun 1976, 1977, 1984, 1989, 1997, 1999, 2007, dan tahun 2014. Bahkan jumlah pengungsi banjir terbesar Jakarta terjadi pada tahun 1977, yang diklaim mencapai 200 ribu orang. Banjir di ibu kota memang disebabkan oleh beberapa hal. Selain karena kondisi topografinya yang berada di dataran rendah, tata ruang Jakarta pun semakin mendapat tekanan karena beban ibu kota yang semakin besar dan tak terkendali. Akibatnya, baru sebentar saja Jakarta diguyur hujan, ketar-ketir air menggenang pun menjadi semakin mudah untuk dirasakan. Siapa yang akan terkena imbas paling parah, tentu mereka yang berada pada golongan ekonomi rentan (vulnerable), karena minimnya kepemilikan aset untuk bertahan terhadap bencana. Sederhananya, banjir akan lebih mudah meluluhlantahkan kegiatan ekonomi orang-orang miskin, menjauhkan mereka dari keterjangkauan terhadap harga sembako yang semakin tinggi, dan menularkan wabah diare karena tidak memiliki jaminan kesehatan yang berkualitas.
Mengatasi Banjir Ibu Kota
Kondisi dan proses alamiah berupa topografi, curah hujan, dan kemana limpasan air akan mengalir memang tidak bisa disalahkan. Namun tidak terkendalinya proses ini akibat intervensi manusia terhadap lahan-lahan di Jakarta, perlu mendapat perhatian khusus menggunakan pendekatan tata ruang. Beberapa rekayasa fisik yang saat ini diupayakan adalah pelaksanaan beberapa mega proyek berupa pembangunan great sea-wall di pantai utara Jakarta, optimalisasi Banjir Kanal Timur (BKT), pembangunan sodetan, dan revitalisasi sempadan sungai. Bahkan teknologi terbaru berupa rekayasa hujan pun kabarnya telah dilakukan untuk mengatur volume air akan turun di Jakarta. Rekayasa fisik juga dapat dilakukan dengan meninjau gedung-gedung pencakar langit yang tak memenuhi syarat kelestarian lingkungan, relokasi permukiman yang berada di bantaran sungai, pembuatan biopori di tiap rumah, dan juga penyediaan ruang-ruang terbuka hijau di lahan-lahan terbengkalai (brown field).
Selain rekayasa fisik, penyelesaian banjir Jakarta juga membutuhkan rekayasa non fisik seperti tertibnya pembuangan sampah di tempat-tempat yang telah disediakan. Membuang sampah sembarangan di sepanjang aliran sungai tidak boleh lagi menjadi “budaya” bagi mereka yang sudah bosan dengan permasalahan banjir. Lihatlah bagaimana sampah-sampah yang ikut mengapung selama banjir seolah merefleksikan karakter warganya yang “galau”, karena di satu sisi ingin masalahnya cepat selesai, namun di sisi lain tetap membuang sampah sembarangan. Sejak 18 Januari hingga 2 Februari 2014, Dinas Kebersihan DKI Jakarta mencatat total keseluruhan sampah yang diangkut pascabanjir mencapai 91.529 ton.
Ya, untuk mengatasi banjir Jakarta memang membutuhkan dana yang tidak sedikit. Namun begitu, persoalan ini rasanya tak perlu dikhawatirkan mengingat Jakarta adalah tempat bertemunya pelaku ekonomi kelas menengah ke atas dari seluruh penjuru nusantara bahkan dunia, yang selama ini meraup keuntungan di dalamnya. Artinya, hal ini akan menjadi sederhana bila semua pelaku ekonomi tersebut mau “berpatungan” untuk membenahi tata ruang Jakarta. Hal ini salah satunya bisa dilakukan dengan memadukan dana-dana CSR dari banyak perusahaan di Jakarta untuk merumuskan berbagai program strategis penyelesaian banjir.
Tentu, permasalahan kota menjadi tidak akan pernah selesai bila warganya selalu bertindak egois dan tak mau diatur.