URBim | for just and inclusive cities

Menyelesaikan masalah banjir rutin (dan kemacetan jalan) bisa merupakan tes akhir bagi setiap gubernur Jakarta. Sejak hari pertama di kantornya Jokowi dan Ahok telah menjadikan penanganan banjir sebagai prioritas utama. Mereka sangat menyadari dampak banjir yang dapat mematikan dan membuat Jakarta menjadi lumpuh. Diantara berbagai cara mengurangi dampak banjir adalah mengembalikan fungsi dam dam yang semula merupakan daerah penampungan air. Baca lebih lanjut.

Submitted by Riwanto Tirtosudarmo — Mon, 09/23/2013 – 14:42

Solving the problem of regular flooding (and traffic jams) could be the litmus test of any governor of Jakarta. Since the first day in office, Jokowi and Ahok have given top priority to resolving this flooding problem. They are very aware that the impact of flooding could be lethal and paralyzing for Jakarta. Among many other ways to reduce the impact of flooding, they are restoring the dams that were originally designed to be water catchment areas. Read more.

Submitted by Riwanto Tirtosudarmo — Mon, 09/23/2013 – 14:36

Migrasi masyarakat pedesaan ke daerah perkotaan merupakan fenomena umum. Dengan alasan keterdesakan ekonomi mereka hijrah ke kota demi perbaikan kesejahteraan keluarga. Umumnya mereka datang karena telah memiliki saudara atau teman yang sudah lebih dahulu tinggal di kota. Kerap para pendatang mengalami kebingungan karena harus menyesuaikan diri di wilayah baru perkotaan. Keruwetan kota dan sistem nilai yang berbeda membuat mereka tidak nyaman dengan kehidupan kota. Di tempat yang baru mereka juga dibenturkan dengan kendala ekonomi dan kesulitan mencari pekerjaan seperti yang mereka harapkan. Bantuan kelompok pendatang yang sudah mandiri di kota yang berasal dari daerah yang sama kerap menjadi solusi atas permasalahan bagi mereka yang baru sampai di kota. Ikatan persaudaraan dan bantuan ekonomi yang ditawarkan oleh kelompok ini membantu para pendatang untuk menyesuaikan diri secara budaya dan ekonomi dengan kehidupan dan tantangan di kota. Baca lebih lanjut atau bergabung dalam diskusi.

Submitted by widya anggraini — Mon, 09/16/2013 – 00:00

Sejarah Indonesia terlibat dalam Kerjasama Selatan-Selatan (KSS) atau dikenal dengan South-South Cooperation (SSC) dimulai sejak pelaksanaan Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Konferensi ini memiliki peran penting dalam mendorong kerjasama yang saling menguntungkan antar negara-negara berkembang. Pertemuan ini merupakan cikal bakal terbentuknya Gerakan Non-Blok pada tahun 1961 dan Kelompok 77 tahun 1964. Salah satu hasil dari kerjasama mereka adalah pembentukan Pusat gerakan Non Blok untuk Kerjasama Teknis Selatan-Selatan (Non-Aligned Movement Centre for South-South Technical Cooperation – NAM-CSSTC) dalam rangka mempercepat pembangunan di negara-negara berkembang atas inisiatif Indonesia dan Brunei Darussalam. Sejak tahun 1981 Pemerintah Indonesia mulai aktif mengadakan kerjasama teknis dengan membentuk Indonesian technical Cooperation Program (ITCP) yang bertujuan untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan Indonesia tentang pembangunan yang dianggap sukses di Indonesia melalui program pelatihan dan pertukaran ahli di Indonesia dengan dukungan dari negara lain dan donor internasional. Baca lebih lanjut atau bergabung dalam diskusi.

Submitted by widya anggraini — Mon, 09/09/2013 – 00:00

SEA GAMES merupakan perhelatan akbar olah raga se-Asia Tenggara yang diikuti oleh 11 negara dan pertama kali diselenggarakan pada tahun 1959 di Bangkok, Thailand. Indonesia sendiri sudah 4 kali menjadi tuan rumah SEA GAMES yaitu pada tahun 1979, 1987, 1997, dan 2011. Tentunya terpilihnya Indonesia menjadi penyelenggara Sea Games merupakan kebanggaan tersendiri dan diharapkan akan memberi dampak positif dari sisi ekonomi dan turisme misalnya. Pelaksanaan SEA GAMES ke 26 ini dilaksanakan di dua tempat yaitu Jakarta dan Palembang. Jakarta pada umumnya menjadi tuan rumah tunggal dalam pelaksanaan Sea Games, namun kini menggandeng Palembang sebagai pelaksana Sea Games berdasar atas kesiapan kota tersebut dan komitmen pemerintah Palembang dalam melaksanakan event besar ini. Baca lebih lanjut atau bergabung dalam diskusi.

Submitted by widya anggraini — Mon, 08/19/2013 – 00:00

Salah satu dampak yang tidak direncanakan dari kebijakan pembangunan ekonomi dan strategi rekayasa politik Orde Baru Suharto adalah fenomena menggelembungnya sektor informal di perkotaan. Secara akademik istilah sektor informal diperkenalkan pada tahun 1970an sebagai kelanjutan dari diskusi luas tentang isu-isu “urban bias” dan “why poor stay poor” argument utama dari Michael Lipton. Baca lebih lanjut.

Submitted by Riwanto Tirtosudarmo — Fri, 08/09/2013 – 00:00

One of the unintended results of Suharto’s New Order economic development policy and political engineering strategy is the burgeoning phenomenon of the informal sector in Indonesia’s cities. As an academic term, “informal sector” was coined in the 1970s, following the widely debated discussions on the issues of urban bias and “why the poor stay poor” prominently argued by Michael Lipton. Read more.

Submitted by Riwanto Tirtosudarmo — Fri, 08/09/2013 – 00:00

Fenomena anak jalanan (Anjal) merupakan permasalahan sosial yang hadir terutama di kota-kota besar. Menurut data Kementerian Sosial RI (Kemensos) saat ini di Indonesia secara keseluruhan terdapat sekitar 4,5 juta anak terlantar. Untuk Jakarta sendiri anak terlantar mencapai lebih dari 230.000 anak. Mereka dengan mudah ditemui setiap traffic light, halte bis, pasar dan berbagai tempat-tempat umum lainnya. Umumnya mereka bekerja sebagai pengamen, penyemir sepatu, peminta-minta maupun penjual makanan kecil di jalanan dan bahkan beberapa dari mereka membentuk geng yang kerap membuat onar dan meresahkan masyarakat. Baca lebih lanjut atau bergabung dalam diskusi.

Submitted by widya anggraini — Mon, 08/05/2013 – 00:00

Selama sebulan terakhir, dimulai pada 2 Juni sampai 3 Juli 2013 yang lalu, Kota Jakarta sedang mengadakan rangkaian perayaan hari ulang tahun yang ke-486. Dengan mengusung tema “Jakarta Baru, Jakarta Kita”, perayaan ulang tahun Kota Jakarta tahun ini terasa berbeda. Dalam merayakan HUT Jakarta tahun 2013 ini, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo lebih banyak menggelar acara yang konsepnya terbuka dan melibatkan masyarakat. Pria yang akrab disapa Jokowi ini mengharapkan, dengan acara-acara yang jenis itu, akan semakin timbul rasa cinta warga terhadap Kota Jakarta. Dari rasa kecintaan ini akan timbul kesadaran untuk menjaga, merawat dan memajukan kota. Jokowi mengungkapkan mulai 2013 dan selama ia menjabat sebagai gubernur, tidak akan ada lagi kesan maupun kondisi eklusif dalam perayaan HUT Kota Jakarta. Semua lapisan warga harus merasa gembira merayakannya. Baca lebih lanjut.

Submitted by Nanda Ratna — Wed, 07/24/2013 – 14:17

Dibawah kepamongan Sandyawan Sumardi, seorang sosial aktivis, sebuah komunitas miskin yang tinggal di bantaran sungai Ciliwung di wilayah yang paling padat penduduk di Jakarta telah melakukan perjuangan untuk memperoleh kembali hak-haknya sebagai warganegara dan sebagai manusia. Ciliwung adalah nama sungai yang membelah kota Jakarta, selalu membawa banjir dimusim hujan karena wilayah pegunungan diatas Jakarta telah berubah dari hutan dan resapan air menjadi vila-vila indah bagi kaum elit. Di tengah-tengah kemelaratan dan lingkungan yang buruk warga miskin dan lemah ini ternyata mampu membentuk Ciliwung Merdeka sebuah platform untuk bergerak dan untuk menyampaikan aspirasi sosial dan politik mereka sebagai warga kota dan warganegara. Baca lebih lanjut.

Submitted by Riwanto Tirtosudarmo — Fri, 07/12/2013 – 15:44