URBim | for just and inclusive cities

Warga Jakarta haknya diinjak-injak. Hak warga untuk meruang kota, jauh dari impian masyarakat madani. Lagipula, masyarakat ideal itu tidak ada. Kota-kota di Eropa yang tingkat welfare-nya sudah baik saja masih sering dievaluasi dan di complain. Tapi harusnya ada yang dinamakan bahan-bahan dasar sebuah kota. Kriteria dasar ini meliputi: hak anak untuk memiliki taman bermain, hak pejalan kaki untuk berjalan di pedestrian tanpa resiko ditabrak mobil, hak air minum, hak memiliki perpustakaan yang bagus dan gratis, hak untuk bisa menghirup udara segar di taman kota, hak punya transportasi umum yang cukup dan terjangkau dan masih banyak lagi hak-hak warga Jakarta yang tidak tercapai. Ironisnya, kebanyakan penduduk tidak mengetahui hak meruang kotanya. Kota-kota di Eropa dan Amerika Serikat dianggap mewah; padahal mereka tidak mewah, hanya memenuhi kategori kebutuhan ruang publik saja. Jangan sampai ruang publik dijadikan barang mewah.

Submitted by Daliana Suryawinata — Mon, 06/25/2012 – 01:00

The coupling of community savings groups and housing provision in the ACHR/IIED-ACCA process is a strategic step in a global transition toward sustainability, toward an ecological age. Why? First, it’s about what that coupling means, entailing as it does the formation and consolidation of finance (through savings) and space (through housing and settlement) as common resources at a very real scale: the community. Second, it’s about a fundamental problem of ecology. Learn more.

Submitted by Marco Kusumawijaya — Mon, 06/11/2012 – 01:00

The lives of hundreds of thousands of people in Asian cities have been transformed thanks to an innovative project that enables the urban poor to improve their living conditions in partnership with city governments. Across Asia, ACCA’s investment of US$2.3 million has unlocked US$35.6 million worth of government land for poor people’s housing. ACCA has allowed people to take charge of their own development and make changes as quickly as possible and on a city-wide scale. This contrasts with the islands of development that governments and donors tend to create, and which rarely engage poor people as active participants.

Submitted by Jakarta — Mon, 06/11/2012 – 01:00

Permasalahan kota Jakarta yang kompleks tidak mungkin ditangani sendirian oleh pemerintah. Kabar baiknya, selepas dari cengkraman Order Baru, gerakan masyarakat sipil, khususnya yang terfokus pada problema urban, bersemai dengan subur di Jakarta. Mulai dari kelompok akar rumput yang menyuarakan hak warga miskin, sampai advokasi di media online yang digerakkan warga kelas menengah dan terbukti efektif.

Submitted by Julisa Tambunan — Sat, 06/09/2012 – 01:00

Dengan segala kompleksitas kota Jakarta, sulit untuk memaksimalkan partisipasi publik dalam membuat perencanaan kota yang lebih baik. Padahal, masyarakat lokal seharusnya berpartisipasi dalam melakukan perencanaan kota untuk memastikan pembangunan yang dilakukan pemerintah sesuai dengan kebutuhan. Pemerintah DKI Jakarta memiliki metode Musrenbang (Musyarawah Perencanaan Pembangunan), sebuah sistem perencanaan botom-up yang dilakukan mulai dari tingkat RW. Namun, dalam pelaksanaannya, pelibatan warga miskin atau kelompok yang terpinggirkan dinilai belum optimal. Berita baiknya, banyak pihak yang telah menyadari hal ini. Salah satunya adalah Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM), didukung oleh The Asia Foundation, yang menerbitkan buku Panduan Perencanaan Musyawarah Perencanaan Kota.

Submitted by Julisa Tambunan — Wed, 05/23/2012 – 01:00

Beragam alternatif solusi ditempuh pemerintah untuk mengatasi dan mengurangi risiko banjir di Jakarta, mulai dari pembangunan kanal banjir sampai pembersihan sungai. Yang terbaru dan cukup inovatif adalah perencanaan kontingensi dan pemodelan dampak bencana melalui pemetaan partisipatif.

Submitted by Julisa Tambunan — Sat, 05/19/2012 – 01:00

Sulit untuk mengatakan dengan persis berapa jumlah penduduk Jakarta saat ini. 20 juta? 12 juta? 20 juta di siang hari dan 12 juta di malam hari? Sensus penduduk tidak pernah dapat sepenuhnya diandalkan karena sebagian besar warga Jakarta yang berdiam di perkampungan kumuh, contohnya, tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Padahal, KTP adalah “karcis masuk” untuk mendapatkan berbagai akses terhadap fasilitas perkotaan mendasar seperti tanah, air, maupun sanitasi. Mercy Corps mencoba untuk melakukan pemetaan masyarakat di perkampungan kumuh terbesar di Jakarta, Penjaringan, khususnya yang tinggal di sekitar jalan tol layang menuju Tanjung Priok, dan mengadakan perencanaan spasial partisipatif bekerja sama dengan Kelompok Masyarakat Pecinta Kolong Tol dan Universitas Indonusa Esa Unggul.

Submitted by Julisa Tambunan — Wed, 05/09/2012 – 01:00

Masalah tanah masih menjadi masalah utama bagi warga miskin di ibukota Jakarta. Meski intensitas pemberitaannya kian berkurang, penggusuran tetap merupakan momok yang menghantui masyarakat miskin Jakarta, khususnya pendatang. Sejumlah organisasi non pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat telah lama menyuarakan keberatannya dalam praktek-praktek penggusuran yang kerap kali tidak mengindahkan hak asasi manusia (HAM). Human Rights Watch (HRW) adalah salah satu organisasi yang menyoroti hal ini dan mengusulkan solusi.

Submitted by Julisa Tambunan — Wed, 05/02/2012 – 01:00

Mercy Corps reports that it is monitoring the situation in Indonesia after a powerful 8.6-magnitude earthquake struck off the coast of Sumatra island on Wednesday. Major aftershocks have followed. Tsunami warnings were issued for several countries, including Indonesia, India, Sri Lanka and Thailand. There were reports of power outages in Aceh Province, the region closest to the first quake’s epicenter, but no immediate reports of casualties or damage. All Mercy Corps staff of nearly 150 in Indonesia have been accounted for. Staff in Jakarta and in Banda Aceh reported feeling major shaking that lasted more than a minute and a series of major aftershocks. The organization says it will continue to monitor humanitarian needs arising from the quake and potential tsunami. Read more.

Submitted by Jakarta — Wed, 04/11/2012 – 01:00

One of the biggest problems in Jakarta’s many slums is child malnutrition. Most residents of these neighborhoods don’t have kitchens or cooking supplies to prepare their own meals, so they purchase cheap street food that is usually high in fat and sugar, but low in protein and nutrients. As a result of this poor diet, at least 17 percent of children throughout the city suffer from acute malnutrition, as well as anemia and stunted growth — and that percentage is much higher in the slum neighborhoods where poor families are concentrated. Another problem that plagues Jakarta’s poorest areas is unemployment, with some estimates putting unemployment rates in poor neighborhoods at more than 30 percent. Both of these problems — malnutrition and unemployment — are being directly addressed by a Mercy Corps program that helps food cart vendors dish out healthy food to children. Read more.

Submitted by Jakarta — Thu, 01/12/2012 – 00:00