URBim | for just and inclusive cities

Blusukan, adalah sebuah kata dalam bahasa Jawa, yang oleh The Jakarta Post diterjemahkan sebagai impromptu visit, menjadi sangat populer setelah dipakai oleh Jokowi, gubernur Jakarta. Jokowi menggunakan kata itu untuk menggambarkan kegiatannya melakukan inspeksi langsung, seringkali tanpa sepengetahuan siapapun kapan dan kemana dia pergi, bahkan tanpa diketahui oleh staf dan wartawan yang selalu mengikuti geraknya. Kita kemudian mengetahui bahwa tujuan blusukan sesungguhnya adalah untuk melakukan komunikasi langsung dengan warga masyarakat, disamping adanya berbagai tujuan resmi lainnya, seperti untuk mencek implementasi sebuah proyek, mencek pelayanan publik yang diberikan olaeh kecamatan dan kelurahan, atau sekedar untuk melihat situasi di lapangan dan untuk mendengar langsung apa yang dikeluhkan oleh warga miskin di tingkat akar rumput. Baca lebih lanjut.

Blusukan is a Javanese word, translated by The Jakarta Post as “impromptu visit”, popularized after being used by Jokowi, the governor of Jakarta. Jokowi used the term to denote his movement to inspect directly, often without anyone knowing when and where he goes, not even his own staff nor the journalist who usually always follow his movements. We later learned that the aim of blusukan is primarily to make direct contact with the people, as well as many official reasons such as to check the implementation of a development project, to check on public services delivered by Jokowi’s subordinates at the district and village level governments, or simply to observe the situation on the field and to listen to the urban poor’s complaints at the grassroots level. Read more.

Submitted by Riwanto Tirtosudarmo — Tue, 03/25/2014 – 16:50

Setelah banjir yang melanda pada pertengahan Januari hingga awal Februari mulai surut, maka mulai terlihat banyaknya kerusakan jalan di ibukota Jakarta. Jalanan rusak dan berlubang jelas sangat mengganggu aktivitas para pengendara, karena selain dapat membahayakan juga seringkali menyebabkan kemacetan. Berdasarkan data Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta, ada 9.833 titik jalan rusak atau seluas 166.397 meter persegi. Melihat keadaan ini, Dinas PU DKI Jakarta terus bekerja secepat mungkin untuk memperbaiki kerusakan tersebut, Hingga hari Kamis, 6 Maret 2014 data dari Dinas PU menunjukkan sudah 70 persen jalan rusak yang diperbaiki, yaitu sebanyak 9.663 titik dengan luas 161.420 meter persegi. Sedangkan yang belum diperbaiki tinggal 170 titik dengan luas 4.977 meter persegi. Baca lebih lanjut.

Submitted by Nanda Ratna — Fri, 03/14/2014 – 16:13

Urban service networks have long been the domain of public utility companies, private enterprises, and city governments to plan and manage, but as cities grow rapidly, existing mechanisms become overstretched and cannot keep up with demand. Citizen participation in the management of these urban networks can go a long way to make urban systems more effective; when citizens work with them to supply information and give feedback on service quality levels and identifying service gaps. A few trends that can support this are: the increasingly widespread use of cell phones in many developing countries, and also the increasing sophistication of local community organizations to gather data to support citizen advocacy efforts. Both these mechanisms can increase citizen participation by giving the public access to information to enable citizen and community-based groups to be proactive stakeholders, not simply being clients or beneficiaries. By receiving and supplying information, the citizens can be informed and updated, and also provide information to service providers about their needs, in a way that would otherwise be difficult. Read more.

Las redes de servicios urbanos han sido el dominio de las empresas de servicios públicos, de las empresas privadas y de los gobiernos municipales para planificar y gestionar durante mucho tiempo; considerando que las ciudades crecen rápidamente, los mecanismos existentes son agobiados y no pueden cumplir con la demanda. La participación ciudadana en la gestión de las redes urbanas ayuda al crear sistemas urbanos más efectivos; cuando los ciudadanos colaboran con las redes para suministrar información y para dar sus comentarios sobre los niveles de calidad del servicio, e identificar brechas en el servicio. Algunas tendencias que pueden apoyar esto son: el uso generalizado de teléfonos móviles en varios países en desarrollo, y también la sofisticación aumentada de las organizaciones comunitarias locales para el recaudado de datos para apoyar los esfuerzos de abogacía para los ciudadanos. Los dos mecanismos pueden aumentar la participación ciudadana al darle acceso al público a información para permitir que las organizaciones comunitarias y ciudadanas sean actores participantes proactivos, y no solamente clientes o beneficiarios. Además, al recibir y suministrar información, los ciudadanos pueden estar informados y al tanto de lo que ocurre; también, al suministrar información a los proveedores de servicios sobre sus necesidades, en un manera estratégica ayudaría. Leer más.

Submitted by Editor — Thu, 03/13/2014 – 10:52

As the capital of Indonesia and its center of government, politics, economics and culture, Jakarta serves many purposes. These functions have attracted migrants coming to Jakarta in search of a better life, but rapid urbanization coupled with poor city planning contributes to the city’s issues like over-population, pollution, traffic jams, flooding, and informal settlements. Read more.

Yakarta, la capital de Indonesia y el centro de gobierno, política, economía y cultura, sirve para muchos propósitos. Estas funciones han atraído a los migrantes que vienen a Yakarta en busca de una vida mejor, pero la urbanización rápida, junto con la mala planificación de la ciudad contribuye a los problemas de la ciudad, tal como la superpoblación, la contaminación, los atascos, las inundaciones y los asentamientos informales. Leer más.

Submitted by widya anggraini — Sat, 03/01/2014 – 10:40

Jakarta Utara merupakan salah satu dari lima kota di Jakarta yang keseluruhan bagiannya merupakan daerah pesisir. Secara historis Jakarta berkembang melalui wilayah ini sebab keberadaan pelabuhan utama bagi Kerajaan Tarumanegara, sebutan Jakarta dahulu kala, memungkinkan Jakarta melakukan aktivitas ekonomi dengan berbagai daerah dan berkembang seperti saat ini. Secara administratif, Jakarta memiliki enam kecamatan dengan beragam potensi perikanan laut. Salah satu daerahnya adalah Muara Angke di Kecamatan Penjaringan yang dikenal sebagai desa nelayan dan rumah bagi hutan asli mangrove. Beragam masalah kini hadir di daerah tersebut dikarenakan berkurangnya jumlah nelayan dan hasil produksi mereka karena sulitnya modal dan kekhawatiran kehilangan ladang karena proses reklamasi di Pantai Utara yang rencananya akan dijadikan permukiman. Untuk itu pemerintah saat ini telah melaksanakan sebuah program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) dan rencana menjadikan kampung nelayan menjadi daerah wisata. Selain itu berbagai Lsm penggiat lingkungan melakukan advokasi penyelamatan hutan mangrove di Jakarta. Baca lebih lanjut atau bergabung dalam diskusi.

North Jakarta is one of the five towns in Jakarta consisting entirely of coastal areas. Historically, Jakarta started to grow because of the presence of a major port in the Tarumanegara Kingdom, a place of yore that stirred economic activity in the various regions and enabled them to flourish. Jakarta has six districts with diverse marine fisheries. One region in the Penjaringan District is Muara Angke, known as a fishing village and home to the original mangrove forest. Various problems are now present in the area — the decreasing number of fishermen and the drop in production stem from the difficulty of raising capital and the concern over losing farmland, as there are plans for the North Coast to be transformed into a residential settlement. To that end, the government has developed Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (the Coastal Community Economic Empowerment program, or PEMP) and plans to transform fishing villages into tourist destinations. In addition, a variety of environmental activist groups are advocating the preservation of mangrove forests in Jakarta. Read more or join the discussion.

Submitted by widya anggraini — Fri, 02/14/2014 – 11:17

Di awal tahun Kuda, berdasarkan penanggalan Cina, Indonesia mendapat hantaman banjir yang dahsyat. Kombinasi berbagai faktor, terutama hujan yang tiada henti, perubahan iklim dan kerusakan lingkungan akibat ulah manusia; telah melumpuhkan tidak hanya Jakarta, ibukota negara, namun banyak tempat laindi Jawa dan pulau-pulau lainnya. Jakarta seperti biasa selalu menjadi pusat perhatian media karena banjir mencerminkan kinerja pemerintah kota dalam menangani masalah ini. Publik melihat disamping upaya habis-habisan dari Jokowi sebagai gubernur baru dalam mencegah dampak banjir namun upaya ini tampak tak berarti karena volume air yang mencapai puncaknya akibat hujan turun setiap hari di bulan Januari. Baca lebih lanjut.

In the beginning the Year of Horse according to the Chinese calendar, Indonesia was hit by severe flooding. A combination of factors, most notably unabated rains, climate change and manmade environmental destruction have paralyzed not only Jakarta, the capital city, but many places in Java and on other islands. Jakarta has always been the center of media attention as flooding reflects the performance of the city government in handling the case. The public noticed that despite all-out efforts by Jokowi as the new governor to curb the potential flooding, the effort seemed meaningless as the volume of water reached its peak as it pored throughout January. Read more.

Submitted by Riwanto Tirtosudarmo — Wed, 02/05/2014 – 14:59

Genap sudah bencana banjir melanda ibukota Indonesia, Jakarta, selama satu bulan di tahun 2014. Jakarta memang menjadi langganan banjir, bahkan sejak dulu Belanda menjajah Batavia. Banjir Jakarta pertama kali tercatat tahun 1621. Pemerintah Belanda pada waktu itu pun berupaya menangani banjir dengan melaksanakan berbagai mega proyek seperti pembangunan tiga bendungan besar Jakarta tahun 1918, yakni Bendungan Hilir, Bendungan Jago dan Bendungan Udik. Selain itu, pada tahun 1922 Belanda juga membangun Banjir Kanal Barat (BKB) yang membuka pintu air Manggarai-Rawa Angke. Baca lebih lanjut.

Submitted by Rendy A. Diningrat — Tue, 02/04/2014 – 05:38

Komisi Nasional Perlindungan Anak melaporkan sedikitnya ada 2.637 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang tahun 2012 dan 62 persen diantaranya merupakan kekerasan seksual terhadap anak dimana mayoritas korban berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Tren kasus kekerasan terhadap anak meningkat tiap tahunnya. Tingginya angka kekerasan ini menunjukkan betapa buruknya perlindungan anak dan minimnya kebijakan yang berpihak terhadap anak. Secara nasional, negara merespon dengan mengeluarkan undang-undang perlindungan anak yang menyatakan dengan jelas bahwa negara menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang secara optimal serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Munculnya Undang-undang ini diikuti oleh keluarnya peraturan standar minimum pelayanan terpadu bagi perempuan dan anak korban kekerasan. Baca lebih lanjut atau bergabung dalam diskusi.

The National Commission for Child Protection reported at least 2,637 cases of violence against children in 2012 with 62 percent comprising of sexual abuse cases, in which the majority of the victims are from the middle and lower classes. Cases of child violence have seen an upward trend and are increasing each year. This high rate of violence points to the appalling state of child protection and to the lack of policies directed towards it. On a national level, the state has responded by issuing a child protection act which makes clear their guarantee to protect children and their rights in order for them to live, grow, achieve optimal development, and receive protection from violence and discrimination. The emergence of this act was followed by the issuance of minimum integrated service standard policies for women and child victims of violence. Read more or join the discussion.

Submitted by widya anggraini — Mon, 02/03/2014 – 00:00

Seiring datangnya tahun yang baru, tahun 2014 ini, musim hujan pun datang di jakarta dan sekitarnya. Hal tersebut dinyatakan dengan status Jakarta siaga banjir, terhitung sejak tanggal 13 Januari hingga 12 Februari 2014. Turunnya hujan dengan intensitas yang tinggi dan selama berhari-hari didaerah Jabodetabek menyebabkan beberapa daerah di ibukota dan sekitarnya pun tergenang air banjir dengan ketinggian air yang beragam. Sungai-sungai yang meluap juga menenggelamkan pemukiman warga di sekitarnya. Baca lebih lanjut.

Submitted by Nanda Ratna — Mon, 01/27/2014 – 13:05

Bagi kebanyakan orang Jakarta identik dengan kota macet, kota polusi, kota mall atau kota banjir. Sedikit atau bahkan hampir tidak ada yang menyebut Jakarta sebagai kota Hijau. Sebutan ini bukan tanpa alasan mengingat kondisi Jakarta saat ini yang kian macet, polusi udara yang parah, pembangunan yang banyak menyalahi penggunaan lahan dan tingkat urbanisasi yang tinggi dan munculnya kampung kumuh. Kondisi ini membuat masyarakat merindukan kehadiran ruang terbuka hijau atau taman-taman di pusat kota yang berfungsi sebagai tempat rekreasi, olahraga, serta interaksi sosial. Hal-hal inilah yang menjadi harapan masyarakat di tahun 2014 yang ingin melihat lebih sedikit pembangunan mall dan lebih banyak taman kota. Secara kebijakan, pemerintah telah merespon dengan mengeluarkan undang-undang Penataan Ruang yang secara tegas mengamanatkan bahwa 30% dari wilyah kota berwujud Ruang Terbuka Hijau (RTH). Undang-undang ini kemudian diterjemahkan kedalam sebuah program bernama Program Pengembangan Kota HIjau (P2KH). Baca lebih lanjut atau bergabung dalam diskusi.

For most people, Jakarta is associated with traffic, pollution, shopping centers, or floods. Rarely do people identify Jakarta as a green city. This is unsurprising considering the city’s increasing traffic jams and air pollution, the rapid land development in violation of city plans, and growing slums. These circumstances have led Jakartarians to long for the presence of green open space or public parks that could function as locations for recreational, exercise, and social activities. This is the hope of Jakarta’s residents for 2014: less shopping malls, more public parks. In terms of city ordinance, the government has responded to the people by passing the Spatial Planning Bill, which strictly states that 30 percent of the city must consist of green open space. This bill then was translated into a project called the Green City Expansion Project (P2KH). Read more or join the discussion.

Submitted by widya anggraini — Mon, 01/06/2014 – 00:00