URBim | for just and inclusive cities

Bila melakukan kilas balik, menangnya Jokowi dalam pilkada Provinsi DKI Jakarta dua tahun silam, memang menggemparkan dunia perpolitikan Indonesia. Sebagian masyarakat tentu senang sekaligus ‘harap-harap cemas’ lantaran beberapa pertanyaan: “Apakah Jokowi akan mampu menata Jakarta yang sarat dengan kepentingan politik, sebagaimana beliau menata Solo yang terkesan adem ayem? Ya, Jakarta memang keras bung!”

Menjawab berbagai pertanyaan di atas, sang Gubernur rupanya terus melakukan berbagai gebrakan agar Jakarta menjadi kota yang lebih tertata dan manusiawi. Beberapa gebrakan tersebut antara lain: Jakarta Sehat, Jakarta Cerdas, relokasi permukiman kumuh, revitalisasi sungai dan waduk, penertiban jalur Busway, penerapan sistem elektronik KRL, dan sebagainya. Atas kerja keras Jokowi menyulap Jakarta, beragam apresiasi pun ditumpahkan warga ibu kota, bahkan masyarakat di seluruh Indonesia. Melalui mata media, Jokowi semakin tercitra sebagai sosok pemimpin Indonesia yang paling diidam-idamkan. Tarik ulur Jokowi sebagai calon presiden 2014 pun rupanya menjadi penantian banyak masyarakat, termasuk capres lain di bursa pilpres. Hingga kini, tiap ditanya akankah beliau maju dalam bursa tersebut, Jokowi tak pernah memberi jawaban yang pasti: “Mau fokus Jakarta dulu”, begitu kiranya jawaban sang Gubernur.

Ya, kini kita memang tengah menanti hadirnya sosok pemimpin baru yang akan mengawal Indonesia selama 5 tahun ke depan. Itu artinya, salah pilih pemimpin membuat bangsa ini akan mengalami kerugian yang sangat besar selama lima tahun ditambah kerugian-kerugian lain yang terakumulasi dari kekhilafan pemimpin-pemimpin sebelumnya. Di tengah Jokowi yang belum juga mengambil sikap, berbagai respon dari pihak lain pun agaknya telah mendahului. Ada sebagian masyarakat yang berharap Jokowi untuk tetap membenahi Jakarta hingga selesai masa jabatan. Ada pula yang inginkan Jokowi memimpin satu Indonesia di momen pilpres tahun ini. Bahkan argumen mengejutkan datang dari Basuki Tjahja Purrnama (Ahok), Wakil Gubernur DKI Jakarta, yang menyatakan dirinya akan mundur dari pemerintahan bila sang Gubernur maju dalam pilpres. Ya, Ahok merasa dirinya tak mampu memimpin Jakarta sendiri. Meski beberapa waktu lalu Walikota Surabaya, Risma, sempat diisukan menggantikan Jokowi di posisi Gubernur DKI, nampaknya beliau enggan meng-“iya”-kan lantaran warga Surabaya yang tak rela jika walikota yang dikenal hebat menata kotanya itu, begitu saja di-pindah-jabatan-kan.

Melihat fonomena-fenomena semacam ini kiranya terdapat dua pandangan yang secara serius perlu didiskusikan. Pertama, adalah tentang masyarakat Indonesia yang semakin cerdas mengidamkan sosok pemimpin yang “benar-benar” merakyat, memiliki jiwa leadership, bervisi keumatan, responsif, dan bertindak strategis. Kedua, adalah tentang Indonesia yang tidak mampu mengkader ‘sosok lain’ yang dapat dipercaya untuk mengawal pembangunan nusantara. Mestinya, fenomena yang kedua ini tidak pernah terjadi di negeri berpenduduk lebih dari seperempat milyar jiwa. Pertanyaannya: Apakabar partai politik? Apakabar Universitas Gadjah Mada? dan apakabar mahasiswa Indonesia?