Julisa Tambunan, Jakarta Bureau Chief
Greater Jakarta accounts for 20 percent of the country’s power use. However, with informality dominating its urban landscape, electricity is not evenly distributed across the city. Facilitating access to alternative energy for the low-income population in informal settlements thus becomes crucial. Studies show that for now, most street vendors take lighting expenditure for granted, but any reduction in the cost of energy will have a direct bearing on their profit margins. Therefore, energy diversification is needed now more than ever.
Penggunaan energi di Jakarta masih belum mengusung asas berkelanjutan. Khusus untuk penerangan saja, kota berpenduduk mencapai 10 juta orang ini menguasai 20 persen sumber daya listrik negara. Padahal kenyataannya, pembagian listrik di Jakarta tak merata, mengingat banyaknya pemukiman informal di seluruh pelosok kota. Pencurian listrik bukan hal aneh lagi. Kabel-kabel listrik yang menjuntai tak beraturan juga menimbulkan ancaman bahaya tersendiri.
Macam-macam Pasokan Energi
Listrik di DKI Jakarta sebagian besar dipasok oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN / Perusahaan Listrik Negara). Secara umum, listrik tersedia untuk semua rumah tangga di wilayah Jabotabek dan permintaan meningkat setiap tahun. Namun, layanan ini tidak stabil, karena masih sering terjadi pemadaman bergilir atau fluktuasi tegangan. Belum lagi pemukiman informal yang tentu tak mendapat aliran listrik, sehingga kasus-kasus pencurian listrik banyak terjadi.
Sementara itu, Liquefied Petroleum Gas (LPG), minyak tanah, batu bara, dan biomassa dalam berbagai bentuk merupakan bahan bakar utama yang digunakan oleh rumah tangga Jakarta. Penggunaan batubara tak signifikan di kalangan rumah tangga, namun sangat umum digunakan oleh perusahaan komersial kecil seperti produksi tahu dan tempe. Minyak tanah bersubsidi sebelumnya tersedia di mana-mana dengan bandrol Rp 3,000 per liter, namun kebijakan subsidi ini kemudian dihapus oleh pemerintah dengan harapan masyarakat akan berpindah ke LPG, sehigga sekarang harganya mencapai Rp. 10,000 per liter. LPG pun makin banyak digunakan di Jakarta untuk memasak. Namun, LPG sendiri bukan tak menimbulkan masalah. Tabung gas sering dbilang “bom waktu” oleh masyarakat yang tinggal di pemukiman padat, karena sering meledak dan menimbulkan korban.
Menurut data Badan Pusat Statistik, pengeluaran bulanan rumah tangga miskin untuk keperluan energi adalah sejumlah sekitar Rp. 112,280, lebih dari setenganya dihabiskan untuk biaya listrik saja. Jika demikian, artinya memang sudah waktunya Jakarta mencari sumber-sumber energi baru yang lebih murah dan berkelanjutan. Namun, siapakah pemasoknya? Jika sektor swasta diharapkan untuk turut serta memecahkan masalah ini, apakah ada pangsa pasarnya?
Pangsa Pasar: Pedagang Kaki Lima
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), ada 92.751 pedagang kaki lima yang beroperasi di DKI Jakarta pada tahun 2005. Tak ada data pasti jumlah pedagang kaki lima saat ini, mengingat statusnya yang informal. Namun, jumlahnya dianggap terus berlipat-lipat setiap tahunnya. Pedagang kaki lima yang berjualan di malam hari membutuhkan penerangan yang baik, karena berpengaruh pada pendapatan harian mereka. Kasus yang banyak terjadi adalah para pedagang kaki lima ini akhirnya melakukan sambungan listrik liar atau mencantol secara ilegal. Tapi tak melulu seperti itu. Baterai basah dan kering sering digunakan untuk penerangan di kalangan pedagang kaki lima.
PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang yang khawatir akan sambungan-sambungan listrik liar pun siap meluncurkan program LISKO atau listrik koin untuk para pedagang kaki lima yang siap diluncurkan dalam waktu dekat. Hanya dengan Rp. 1,000, konsumen bisa menikmati listrik berdaya 900 watt selama 30 menit. Jika habis, tinggal masukkan koin baru. Persis seperti penggunaan telepon umum.
Sementara itu, salah satu perusahaan energi raksasa pun mulai menyasar para pedagang kaki lima untuk memasarkan produk lampu solar yang merupakan teknologi berkelanjutan. Lampu solar tersebut dinilai jauh lebih efektif dari segi biaya dan mampu menggantikan lampu neon bertenaga baterai (atau sambungan liar) yang umum digunakan para pedagang.