URBim | for just and inclusive cities

Posisi menentukan prestasi: kiasan sekaligus lelucon yang sering digunakan oleh anak sekolah ketika menghadapi ujian tersebut agaknya tepat untuk menggambarkan situasi kota Jakarta. Dengan tata ruang yang semakin berantakan, siapa yang berada di posisi paling dekat dengan sumber daya akan mengeruk keuntungan lebih. Sementara itu, urusan tata ruang kota Jakarta selama ini mutlak dikuasai oleh pemerintah. Lalu bagaimana agar masyarakat bisa lebih terlibat dalam masalah tata ruang kota dan mendapatkan kesempatan yang sama? Rujak Center for Urban Studies merasa bahwa langkah pertama adalah mengedukasi warga mengenai tata kota. Baca lebih lanjut di sini.

Submitted by Julisa Tambunan — Fri, 10/26/2012 – 01:00

Angka malnutrisi anak di ibukota Jakarta sungguh memprihatinkan. Di sejumlah perkampungan kumuh, akibat kondisi hidup yang tak layak, hampir sekitar 50% anak mengalami malnutrisi yang ditandai dengan berat badan jauh dari ideal. Jika tak diatasi segera, akibatnya bisa fatal. Kerusakan fisik dan kognitif yang permanen mengancam anak-anak ini. Padahal solusinya ternyata tak sulit dan tak mahal, modalnya hanya budaya lokal. Masih banyak harapan untuk warga miskin Jakarta. Baca lebih lanjut di sini.

Submitted by Julisa Tambunan — Thu, 10/18/2012 – 01:00

Dampak dari perubahan iklim yang tadinya terasa begitu jauh makin terasa dekat. Musim kemarau dan musim penghujan tak lagi punya batasan yang jelas. Curah hujan yang tinggi dan tak dapat diprediksi, ditambah naiknya permukaan air laut, ternyata berdampak sungguh buruk bagi Jakarta. Yang paling rentan tentunya adalah warga miskin di perkampungan kumuh yang tak punya sumber daya cukup untuk bertahan. Global Facility for Disaster Reduction and Recovery berusaha mengikutsertakan kelompok miskin untuk merancang solusinya. Baca lebih lanjut di sini.

Submitted by Julisa Tambunan — Fri, 10/12/2012 – 01:00

Banyak yang menganggap warga kelas menengah Jakarta hidup dalam gelembung besar, tidak pernah melihat “ke bawah” dan sibuk mendominasi Twitter dengan keluh kesah tentang macet. Kelompok desainer dan seniman di Jakarta tak setuju. Berikut cuplikan cerita tentang Enrico Halim dengan gerakan aikon-nya serta Ade Darmawan dengan Ruang Rupa dan Indonesian Street Art Database-nya, yang berusaha mengubah Jakarta lewat desain dan seni. Silahkan teruskan membaca.

Submitted by Julisa Tambunan — Fri, 10/05/2012 – 01:00

Kekerasan di jalanan kerap mewarnai kota-kota besar dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan perkampungan kumuh yang mewarnai landskapnya. Jakarta tak terkecuali. Lucunya, meski kantung-kantung kemiskinan di Jakarta tersebar di seluruh pelosok kota, namun kasus tawuran tampak terpusat di satu tempat saja, kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat. Daerah ini identik dengan “perang kampung”. Berbagai usaha telah diambil untuk menghapus tawuran dari daerah ini. Berhasilkah? Lanjutkan baca di sini.

Submitted by Julisa Tambunan — Tue, 08/14/2012 – 00:00

Krisis air di Jakarta makin mengkhawatirkan. Dengan jumlah penduduk mencapai 10 juta orang, suplai air bersih kian tak mampu memenuhi kebutuhan warganya. Air tanah tak layak didulang. Tigabelas sungai yang mengaliri kota tercemar parah. Perusahaan air minum tak menjangkau seluruh area. Setengah penduduk Jakarta yang tercatat miskin malah harus membayar berkali lipat untuk mendapatkan air bersih. Adakah solusi yang masuk akal? “Mendaur ulang” air melalui ekohidrologi cukup menjanjikan. Baca ulasannya di sini.

Submitted by Julisa Tambunan — Wed, 08/08/2012 – 00:00

Sakit bukan pilihan bagi warga miskin Jakarta yang tinggal di perkampungan karena mahalnya biaya pengobatan yang harus ditanggung jika mereka jatuh sakit. Di sisi lain, menjaga kesehatan pun tak mudah, dengan seringnya terjadi epidemi akibat kondisi pemukiman yang buruk seperti demam berdarah, diare, dan tifus. Apakah asuransi mikro bisa menjadi jawabannya?

Submitted by Julisa Tambunan — Wed, 08/01/2012 – 01:00

Warung dan pedagang kaki lima membentuk wajah Jakarta. Namun, rata-rata dari mereka tak menguasai dasar-dasar pengelolaan keuangan dan tak punya keterampilan vokasional untuk mensejahterakan hidupnya. Untuk mengatasi masalah di dasar piramid ini, dibutuhkan inovasi yang mudah direplikasi dan diperbesar dari segi skala. Ketimbang terus meminggirkan mereka, mungkinkah membuat mereka lebih berdaya? RUMA punya solusi: “Business in a box.”

Submitted by Julisa Tambunan — Wed, 07/18/2012 – 01:00

Jakarta bukan tak punya ahli perkotaan. Banyak arsitek, perencana kota, maupun peneliti sosial yang peduli tentang kota ini. Sejumlah penelitian dan usulan perencanaan banyak bermunculan dari kalangan akademis. Masalahnya, bagaimana menjembatani mereka yang berada di “menara gading”, istilah untuk para penghuni universitas, dan mereka yang berada di akar rumput? Bagaimana mengkomunikasikan ide-ide yang muncul dari benak para ahli dan mempraktekkannya agar bisa membuat Jakarta menjadi lebih inklusif bagi semua warganya? Rujak Center for Urban Studies (RCUS) mengusulkan crowdsourcing.

Submitted by Julisa Tambunan — Tue, 07/10/2012 – 01:00

Sedianya warga Jakarta tak perlu kekurangan air bersih. Secara tata letak, iklim dan sumber daya, kota ini mestinya memiliki suplai air bersih yang mencukupi dan sanggup memenuhi kebutuhan seluruh warganya. Tapi kombinasi dari pencemaran air, privatisasi dan komersialisasi air serta kondisi pemukiman yang padat dan informal membuat masalah air bersih menjadi bulan-bulanan masyarakat yang tak kunjung ada solusinya.

Submitted by Julisa Tambunan — Tue, 07/03/2012 – 01:00